Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berita untuk Anda

KETIKA SEKOLAH MENJADI SEMACAM CANDU

Sekolah Adalah Penjara - Selain senyum kecil yang terbit, ada sebuah perasaan miris bercampur geram dan jengkel begitu melihat sebuah kartun karya Thomdean, kartunis jempolan Indonesia dalam karyanya yang berjudul Tahun Ajaran Baru. Dalam kartun yang dibuat dengan warna-warna cerah itu, tersirat sebuah pesan bahwa ternyata sistem pendidikan di negeri ini tidak bisa luput sepenuhnya dari yang namanya KKN dan praktik suap.

Dalam karya indahnya tersebut, Thomdean berhasil menyuguhkan sebuah “realita” yang diwakilkan melalui coretan-coretannya yang bisa dibilang masuk golongan seni kritis. Diceritakan dalam proses pendaftaran di sebuah sekolah, para orang tua maupun pihak sekolah membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus bekerja sama dengan sesamanya. 

Dengan media uang sumbangan pendidikan, para orang tua pun mendapat kepastian bahwa anaknya pasti akan diterima. Ucapan mantra berupa kata “nitip” pun bertebaran di sana. Tapi dari semua kata itu ada satu kata yang cukup menarik perhatian penulis. Frasa tersebut adalah “sekolah ada candu.”

Mungkin istilah tersebut adalah sebuah ungkapan plesetan dari frasa “agama adalah candu” yang pernah dipopulerkan oleh Karl Marx, penulis sekaligus bapak komunisme sedunia. Karl marx menggunakan frasa tersebut (agama adalah candu) karena saking geramnya pada para agamawan yang menggunakan agama sebagai iming-iming bagi kaum miskin untuk bersikap pasrah secara total pada ‘pengisapan’ dan penindasan yang dilakukan oleh kelas bangsawan.   

Kaum miskin dicuci otaknya dan didoktrin bahwa sikap kesewenang-wenangan yang mereka terima akan terbayar dengan surga yang indah setelah mereka mati. Alih-alih memberi semangat untuk memperbaiki nasibnya, agama justru digunakan untuk membius masyarakat agar terlelap dalam penindasan dan hidup seperti kerbau.

Baca juga : Penelitian Tentang Minat Baca Siswa Indonesia

PENDIDIKAN YANG MEMBODOHKAN

Lantas apa yang dimaksud dengan frasa pendidikan adalah candu? Jelas hanya sang pencipta, yakni Thomdean yang mengetahui dengan pasti makna yang terkandung dalam frasa di karyanya tersebut. Tapi tak ada salahnya pula bagi para pembaca dari frasa tersebut untuk mencari makna lain.

Pendidikan memang sesuatu yang sangat penting, baik bagi kehidupan individu seseorang, maupun bagi kehidupan sebuah bangsa. Dengan pendidikan, manusia bisa menambah pengetahuan, memperluas wawasan, memahami budi pekerti, mengasah keterampilan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Tapi pendidikan seperti apa? Tentu saja pendidikan yang berkualitas dan bukan hanya sekadar mengejar nilai.

Sayangnya hal ini masih belum terlihat sepenuhnya jika kita melihat wajah pendidikan di tanah air. Tengok saja saat mendekati ujian nasional, banyak anak yang rela belajar dari pagi sampai sore, ditambah les tambahan sampai malam hanya karena diancam tidak lulus ujian. 

Mengutip keputusan Mahkamah Konstitusi, ini adalah sebuah pelanggaran terhadap UUD 1945, bahkan lebih dari itu, ini telah memperkosa hak-hak pelajar untuk menikmati hidup.

SEKOLAH ADALAH CANDU / ADI FUN LEARNING
Sekolah Membosankan

Pendidikan seharusnya didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan kemampuan siswa, mengenalkan norma dan kecintaan pada tanah air, mengajarkan takut akan Tuhan dan mencintai alam serta membuka cakrawala para siswa yang mungkin selama ini masih diselimuti oleh takhayul dan pemahaman yang destruktif. Pendidikan bukanlah hantu yang akan menerkam siswa karena gagal mengerjakan soal pada waktu ujian. Pendidikan bukanlah gunting yang akan memutus masa depan siswa yang kebetulan harus tinggal kelas karena dianggap bodoh dan terbelakang oleh kurikulum.

Pendidikan harus mampu memanusiakan manusia, karena pada dasarnya setiap manusia adalah unik dan memiliki kelebihan serta kekurangan yang berbeda-beda. Mungkin ada anak yang sangat sulit untuk mengerti aljabar, tetapi ternyata mampu berbicara dalam sepuluh bahasa berbeda. Seorang siswa mungkin tidak bisa menghafal nama zat-zat kimia, tetapi ternyata setelah dewasa mampu  menjadi seorang pencipta lagu yang luar biasa. Pendidikan yang baik adalah yang mampu menyediakan ruang bertumbuh sepenuhnya bagi anak, bukan untuk mengikuti keinginan (baca: paksaan) orang lain, tetapi mampu mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan talenta yang ia punya.

Pendidikan yang sifatnya hanya memaksa dan membuat anak ketakutan sebenarnya patut dicurigai. Jangan-jangan ini adalah sebuah pembodohan yang berlabel pendidikan. Apalagi jika pelayanan pendidikan hanya diberikan secara asal-asalan, maka lengkap sudah derita bagi peserta didik. Ditakut-takuti dengan momok jahat bernama ujian nasional, serta tidak diberi asupan yang bermutu di sekolahnya.

Baca juga : Bolehkah Memberi PR Pada Siswa?

CANDU YANG MEMABUKKAN

Satu lagi permasalahan pendidikan di tanah air, yaitu ketika pendidikan berubah menjadi obat bius bagi masyarakat. Generasi mudanya dibius oleh pelayanan pendidikan yang seakan-akan menjadikannya sebagai manusia yang Pancasilais, sesuai dengan tujuan mulia pendidikan di dalam UUD 1945. 

Padahal, pada kenyataannya mereka  hanya digodok untuk menjadi calon-calon budak industri yang siap diperah oleh para kapitalis besar.

Pendidikan yang seperti ini, memang seolah-olah mengajarkan keterampilan. Ada yang mengajarkan cara mencuci seprai hotel, tersenyum ramah pada pelanggan serta membongkar mesin. Tetapi ternyata hal itu didasarkan pada pesanan para industrialis yang menginginkan tenaga kerja terampil dan berkualitas tetapi dengan upah murah.

Pendidikan yang hanya melahirkan budak dan jongos tidak kurang kejam dari penjajahan model baru. Harus ada ketulusan dalam menjalankan sistem pendidikan. Pendidikan harus bisa membebaskan manusia, bukannya makin membelenggu dalam penindasan.

Pendidikan yang semacam ini tak ubahnya seperti candu yang membius masyarakat. Masyarakat menganggap seolah-olah telah berada pada jalur yang benar dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya, tetapi pada dasarnya mereka sedang digiring untuk menjadi buruh berupah murah.

Pendidikan anti-korupsi, mana mungkin bung!

Kembali pada kartun satir dari kawan Thomdean, harus diakui budaya korupsi, suap dan ketidak jujuran masih begitu kental dalam sistem pendidikan kita. Tengok saja pada  setiap tahun ajaran baru di semua jenjang, mulai dari SD hingga perguruan tinggi tidak ada yang bisa melepaskan diri dari tradisi titip-menitip. Tentu saja dengan walimurid yang menitipkan anaknya tersebut harus memberi ‘mahar’ kepada pihak sekolah dengan besaran yang bervariasi.

Istilah kerennya jual beli bangku pendidikan. Sungguh ironi. Ternyata untuk masuk dalam suatu institusi pendidikan saja sudah harus menggunakan praktik KKN. 

Lantas bagaimana nantinya jika lulus? Pelajar-pelajar yang bermodalkan uang sogokan ini mungkin akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengembalikan uang yang sudah pernah ia gunakan untuk menyogok pihak sekolah, dengan cara apapun. Ini dia lembaran kelam dalam pendidikan kita.

Ketika negeri ini sedang dimabukkan oleh frasa pendidikan karakter, yang digemakan oleh berbagai pihak, apakah praktik korupsi sudah punah dari tubuh pendidikan kita? Atau jangan-jangan praktik ini masih tumbuh subur dan bahkan menjadi mata pencaharian beberapa pihak setiap tahun ajaran baru?

Pendidikan karakter, yang salah satu tujuannya menghapus sifat-sifat korupsi melalui penanaman nilai-nilai luhur pada generasi muda, tentu saja seperti hal yang sia-sia jika praktik suap setiap tahun ajaran baru masih terjadi. Jauh panggang dari api, bung!

Baca juga : Kontroversi Memberi Hadiah Pada Guru

PENDIDIKAN DAN BUDAYA SUNGKAN

Lantas bagaimana agar pendidikan tidak menjadi candu yang memabukkan? Harus ada semacam gerakan bersama untuk segera sadar. Harus ada semacam kesadaran bersama untuk bangkit. Harus ada kemauan untuk bangkit dan berdiri untuk memperbaiki ini semua, salah satunya melalui penghapusan praktik suap dan KKN dalam penerimaan peserta didik baru, baik di jenjang SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi.

Jelas ini bukan perkara yang mudah. Karena praktik ini sudah menjadi semacam tradisi di kalangan masyarakat kita yang hipokrit. 

Apalagi jika sudah berbicara mengenai budaya ewuh-pakewuh alias budaya sungkan. Sebagai contoh, banyak kepala sekolah atau panitia penerimaan peserta didik baru yang tidak bisa menolak calon peserta didik karena ternyata memiliki relasi dengan pejabat atau orang penting lainnya.  

Sehingga walau secara aturan sang peserta didik tidak memenuhi kualifikasi untuk diterima, harus digunakan cara yang lain agar ia tetap lolos. Cara ini  yang kemudian dikenal dengan nama pintu belakang.

Ini dia salah satu tantangan lain bagi sistem pendidikan kita. Padahal sejatinya jika budaya sungkan ini terus berlangsung, maka akan banyak anak berprestasi yang masa depannya sedang digadaikan. Mereka yang lebih pantas untuk mendapat bangku pendidikan yang lebih baik harus mengalah (atau dipaksa mengalah) karena tidak punya sesuatu yang bernama: Duit.

Baca juga : Sekolah Senyaman Rumah

PENDIDIKAN YANG MENDIDIK

Sejatinya institusi pendidikan formal bukan satu-satunya jalan untuk mendapat layanan pendidikan. Thomas Alva Edison saja menjadi sukses baru setelah memilih untuk keluar dari sekolah dan diajar ibunya di rumah. Keluarga dan masyarakat juga turut berperan dalam mendidik generasi muda.

Tetapi tetap, sekolah sebagai institusi pendidikan formal harus terus berbenah untuk meningkatkan kualitasnya. Salah satunya dengan menghapus praktik suap. Jangan takut untuk menendang keluar oknum yang bermental korup dan gila uang sogok. 

Jangan gadaikan nasib generasi muda penerus bangsa hanya dengan lembaran rupiah. Mari semua tersadar, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah candu, melainkan upaya untuk membuat manusia sadar akan perannya di dunia. (Adi Fun Learning)

*****
Demikian artikel tentang problematika pendidikan di Indonesia. Selanjutnya baca juga 12 pekerjaan yang akan berjaya di masa depan. Persiapkan diri Anda!

Posting Komentar untuk "KETIKA SEKOLAH MENJADI SEMACAM CANDU"