Penelitian Tentang Minat Baca Anak Indonesia (2016-2019)
Adi Fun Learning - Minat baca masyarakat Indonesia, khususnya pelajar, dinilai masih sangat rendah. Hal ini sungguh menggelikan mengingat bahwasannya Indonesia sudah memasuki era kemerdekaan cukup lama. Di tambah lagi, dana dari pemerintah untuk pendidikan sangatlah besar.
Lalu bagaimana gambaran tingkat baca dan literasi anak-anak Indonesia?
ilustrasi membaca |
Berikut adalah cuplikan dari Tirto ID tentang minat baca Indonesia
Minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 terkait dengan minat baca, demikian menurut Duta Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
"Berdasarkan hasil survei, menyatakan bahwa saat ini minat baca masyarakat Indonesia sangatlah rendah. Sebab minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara," kata presenter Mata Najwa itu di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Jumat (11/8/2017) malam, dikutip dari Antara.
Najwa melanjutkan, hasil survei berasal dari studi Most Littered Nation In the World 2016 yang dilakukan pada tahun 2016 lalu. Kedatangan Najwa Shihab ke Kupang dalam rangka menggelar "Temu Literasi" yang digagas oleh Lembaga Garda Lamaholot bekerja sama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan.
Acara itu juga dihadiri Gubernur NTT Frans Lebu Raya sebagai bintang tamu dalam acara Temu Literasi dengan tema "Literasi Untuk Kebhinnekaan". "Kalau dilihat angka-angka dan data-data lain sering kali memang fakta angka di atas kertas kemampuan membaca anak-anak Indonesia bahkan dibandingkan dengan negara lain seperti Asean-pun masih sangat jauh," tutur Najwa.
Ia lantas membandingkan masyarakat Eropa atau Amerika khususnya anak-anak yang dalam setahun bisa membaca hingga 25-27 persen buku. Selain itu juga ada Jepang yang minat bacanya bisa mencapai 15-18 persen buku per tahun.
"Sementara di Indonesia jumlahnya hanya mencapai 0,01 persen pertahun," ujar Najwa.
Berdasarkan hasil riset Most Littered Nation In The World 2016, kita wajib mengelus dada. Bayangkan, angka yang ditampilkan sangatlah jauh.
Eropa atau Amerika : 25-27 persen buku per tahun.
Jepang : 15-18 persen buku per tahun.
Indonesia hanya 0,01 persen buku per tahun.
Mau diakui atau tidak memang itulah yang terjadi. Lalu bagaimana dengan hasil riset lainnya? Ini adalah cuplikan dari tanggapan Kemendikbud terkait hasil dari PISA atau Programme for International Student Assessment edisi tahun 2016.
Jakarta, Kemendikbud--Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merilis pencapaian nilai Programme for International Student Assessment (PISA), Selasa 6 Desember 2016, di Jakarta. Release ini dilakukan bersama dengan 72 negara peserta survei PISA. Hasil survei tahun 2015 yang di release hari ini menunjukkan kenaikan pencapaian pendidikan di Indonesia yang signifikan yaitu sebesar 22,1 poin. Hasil tersebut menempatkan Indonesia pada posisi ke empat dalam hal kenaikan pencapaian murid dibanding hasil survei sebelumnya pada tahun 2012, dari 72 negara yang mengikuti tes PISA.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan, peningkatan capaian anak-anak kita patut diapresiasi dan membangkitkan optimisme nasional, tapi jangan lupa masih banyak PR untuk terus meningkatkan mutu pendidikan karena capaian masih di bawah rerata negara-negara OECD. Bila laju peningkatan capaian ini dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan rerata OECD.
PISA merupakan sistem ujian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasi) dengan pengetahuannya. Tema survei digilir setiap 3 tahun, tahun 2015 fokus temanya adalah kompetensi sains.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud, Totok Suprayitno, menyampaikan bahwa peningkatan capaian Indonesia tahun 2015 cukup memberikan optimisme, meskipun masih rendah dibanding rerata OECD. Berdasar nilai rerata, terjadi peningkatan nilai PISA Indonesia di tiga kompetensi yang diujikan. Peningkatan terbesar terlihat pada kompetensi sains, dari 382 poin pada tahun 2012 menjadi 403 poin di tahun 2015. Dalam kompetensi matematika meningkat dari 375 poin di tahun 2012 menjadi 386 poin di tahun 2015. Kompetensi membaca belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari 396 di tahun 2012 menjadi 397 poin di tahun 2015. Peningkatan tersebut mengangkat posisi Indonesia 6 peringkat ke atas bila dibandingkan posisi peringkat kedua dari bawah pada tahun 2012.
Sedangkan, berdasar nilai median, capaian membaca siswa Indonesia meningkat dari 337 poin di tahun 2012 menjadi 350 poin di tahun 2015. Nilai matematika melonjak 17 poin dari 318 poin di tahun 2012, menjadi 335 poin di tahun 2015. Lonjakan tertinggi terlihat pada capaian sains yang mengalami kenaikan dari 327 poin di tahun 2012 menjadi 359 poin di tahun 2015. Peningkatan capaian median yang lebih tinggi dari mean ini merupakan indikator yang baik dari sisi peningkatan akses dan pemerataan kualitas secara inklusif.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (Kapuspendik Balitbang) Kemendikbud mengatakan secara konsisten terjadi peningkatan cakupan sampling peserta didik Indonesia yaitu sebanyak 46 persen di tahun 2003 menjadi 53 persen di tahun 2006. Selanjutnya, angka tersebut naik ke 63,4 persen di tahun 2012, dan menjadi 68,2 persen di tahun 2015. “Peningkatan cakupan sampling ini merupakan bukti capaian wajib belajar 9 tahun dan ekspansi menuju wajar 12 Tahun dan inklusi kepesertaan murid Indonesia dalam pendidikan membuahkan hasil” jelasnya, di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Berdasarkan waktu pembelajaran sains, seluruh negara yang tergabung dalam OECD menunjukkan 94% murid rata-rata mengikuti satu mata pelajaran sains dalam seminggu. Namun, di Indonesia, sejumlah 4% murid tercatat sama sekali tidak dituntut untuk mengikuti mata pelajaran sains. Ketidakharusan untuk mengikuti mata pelajaran sains lebih besar lima persen di sekolah yang kurang beruntung, dibandingkan di sekolah yang lebih maju. Sedangkan, sekolah yang maju di Indonesia menawarkan kegiatan kelompok belajar sains lebih banyak dibandingkan sekolah-sekolah yang kurang beruntung. “Hanya 29% murid yang bersekolah di sekolah yang kurang beruntung diberi kesempatan mengikuti kelompok belajar sains, sementara 75% murid di sekolah maju memiliki kesempatan yang lebih banyak,” jelas Kapuspendik.
Hasil riset tiga tahunan ini juga mengungkapkan adanya variasi perolehan prestasi literasi sains berdasarkan tiga aspek. Pertama, aspek peranan sekolah terbukti berpengaruh terhadap capaian nilai sains siswa, tercatat para siswa yang mendapat nilai tinggi untuk literasi sains karena adanya peranan kepala sekolah, yaitu menunaikan tanggungjawabnya atas tata kelola sekolah yang baik, murid-muridnya tercatat mencapai nilai yang lebih tinggi dalam hal sains. Jika proporsi kepala sekolah yang memonitor prestasi murid-murid dan melaporkannya secara terbuka lebih tinggi, maka angka pencapaian PISA mereka terbukti lebih tinggi. Di sisi lain, proporsi kepala sekolah yang mengeluhkan kekurangan materi pelajaran lebih tinggi dari negara-negara lain, yaitu sebesar 33% di Indonesia, 17% di Thailand dan 6% di negara-negara OECD lainnya.
Kedua, aspek prestasi sains antara siswa dari sekolah swasta dengan sekolah negeri menunjukkan perbedaan capaian nilai yang signifikan. Sekitar 4 dari 10 siswa di Indonesia bersekolah di sekolah swasta, secara signifikan jumlah ini lebih tinggi dari rata-rata negara OECD dan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Murid-murid Indonesia di sekolah negeri mencatat nilai 16 poin lebih tinggi di bidang kompetensi sains, dibandingkan rekan-rekannya di sekolah swasta, dengan mempertimbangkan latar belakang status sosial ekonomi mereka.
Ketiga, aspek latar belakang sosial ekonomi, dari hasil PISA 2015 menunjukkan, 1 dari 4 responden sampel PISA Indonesia memiliki orangtua dengan pendidikan hanya tamat SD atau tidak tamat SD. Jumlah ini merupakan terbesar kedua dari seluruh negara peserta. Namun jika dibandingkan dengan siswa-siswa di negara lain yang memiliki orang tua berlatar belakang pendidikan sama, maka pencapaian sains murid-murid Indonesia masih lebih baik dari 22 negara lainnya. Tercatat skor sains Indonesia dalam PISA 2015 adalah 403, jika latar belakang sosial ekonomi negara-negara peserta disamakan, maka pencapaian skor sains Indonesia berada di angka 445 dan posisi Indonesia naik sebanyak 11 peringkat.
Hal yang terpenting dari survei benchmarking internasional seperti PISA ini adalah bagaimana kita melakukan tindak lanjut berdasar diagnosa yang dihasilkan dari survei tersebut. Peningkatan capaian yang terjadi harus terus ditingkatkan dengan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Bila laju peningkatan tahun 2012-2015 dapat dipertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan sama dengan capaian rerata negara-negara OECD. Perlu optimis untuk terus bekerja keras.*
Jakarta, 6 Desember 2016
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jika dilihat dari cuplikan di atas, maka sebenarnya terpancar aura optimisme yang cukup besar. Namun apakah 'kegembiraan' itu sudah sepantasnya kita rayakan? Tergantung cara pandang kita melihat hasil PISA 2015 yang di-launch 2016 tersebut. Apapun itu, jelas hal ini masih harus ditingkatkan. (Untuk hasil lengkap PISA 2016, silahkan klik di sini)
ilustrasi rendahnya minat baca |
Untuk perbandingan perihal sudut pandang terkait tingkat literasi Indonesia pada tahun 2016, mari kita simak apa yang pernah ditayangkan Kompas.
Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. "Penilaian berdasarkan komponen infrastruktur Indonesia ada di urutan 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan," papar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, Sabtu (27/8/2016), di acara final Gramedia Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta. Kenyataan itu, menurut Anies, menunjukkan Indonesia masih sangat minim memanfaatkan infrastruktur.
Jadi, menurut dia, indikator sukses tumbuhnya minat membaca tak selalu dilihat dari berapa banyak perpustakaan, buku dan mobil perpustakaan keliling. Lebih lanjut, penggagas gerakan 'Indonesia Mengajar' itu menilai agar membaca bisa menjadi budaya perlu beberapa tahapan. Pertama mengajarkan anak membaca, lalu membiasakan anak membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah menjadi budaya. "Jadi budaya membaca itu hadir karena ada kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca ada jika ada rencana membaca secara rutin dan rutinitas dalam baca itu penting sekali," kata Anies.
Tak hanya program Selain membuat program, cara lebih efektif untuk meningkatkan minat dan daya baca adalah membuat movement atau gerakan. Menurut Anies, efek dari sebuah gerakan biasanya lebih cepat menyebar dibanding program. "Movement kalau sudah menular maka akan unstoppable, sebab menularnya bukan karena perintah, dana, dan program tapi karena ada penularan," kata pemilik nama lengkap Anies Rasyid Baswedan itu. Anies pun memberi usul agar komunitas membaca tak menggunakan pendekatan program untuk menumbuhkan minat baca tapi dengan sebuah gerakan.
"Kalau didekatkan sebagai program, maka semua itu tergantung penyelenggara, tapi kalau didekati dengan gerakan, efeknya akan meluas sekali," papar mantan Rektor Universitas Paramadina tersebut. Adapun Gramedia Reading Community Competition adalah kejuaraan membaca untuk komunitas atau taman baca yang ada di Indonesia. Untuk mengikutinya para peserta harus mengirimkan essai dilengkapi dokumentasi foto atau video yang menceritakan kegiatan mereka.
Bukti bahwa minat baca anak Indonesia (masyarakat) juga disuarakan oleh tulisan di bawah ini, yang tak tanggung-tanggung, juga diamini oleh Menteri Puan Maharani.
JAKARTA, KOMPAS.com - Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
Hal itu diungkapkan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (26/3/2018). "Itu berdasarkan hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017," kata Puan. Hasil penelitian itu pun menunjukkan bahwa minat baca masyarakat masih rendah dan perlu ditingkatkan. Caranya, dengan memfasilitasi kebutuhan buku masyarakat. "Bagaimana minat membaca itu ditingkatkan. Bagaimana menarik mereka untuk membaca. Jadi tidak bisa dipaksakan membaca saja, tapi kita tak memberikan fasilitas buku-buku tersebut," kata Puan. )
Tak hanya itu, di tengah rendahnya literasi masyarakat Indonesia tersebut, perpustakaan mau tak mau harus bisa mengambil peran yang tepat. Perpustakaan selain menyediakan sumber-sumber bacaan untuk menggali informasi dan pengetahuan, dapat juga untuk menjadi tempat berbagai kegiatan pelatihan dan keterampilan berbasis literasi.
"Tujuannya untuk pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat", ujar Puan. Apalagi, saat ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat. Karenanya, perpustakaan harus bisa memanfaatkan itu untuk mempercepat diseminasi ilmu pengetahuan dan meningkatkan literasi Indonesia. "Ke depan, perpustakaan nasional dapat berperan menjadi Big Data Indonesia, tidak hanya seperti yahoo ataupun google, sebagai mesin pencari, tetapi juga menyediakan platform data dan analisanya," ungkapnya.
Perpustakaan nasional juga diharapkan tak hanya megah gedungnya saja, tetapi juga ramai pengunjungnya. "Tantangannya bagaimana menarik minat anak-anak Indonesia untuk datang ke perpustakaan. Oleh karena itu, perlu juga dipikirkan upaya Gerakan Gemar Membaca untuk anak-anak usia dini agar mereka tertarik dan gemar membaca," terang Puan.
Lalu apa yang terjadi setelahnya? Berikut adalah sebuah 'artikel penuh optimisme' yang melihat hasil penelitian tersebut dari sudut yang lain lagi.
Jakarta - Menurut survei kelas dunia, orang-orang Indonesia tak suka baca buku. Minat baca anak-anak bangsa ini terpuruk di level bawah. Apa itu kenyataan?
Data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan parahnya minat baca. Yang pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015.
Yang kedua, peringkat literasi bertajuk 'World's Most Literate Nations' yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU).
Penelitian PISA menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara di dunia. Ini adalah hasil penelitian terhadap 72 negara. Respondennya adalah anak-anak sekolah usia 15 tahun, jumlahnya sekitar 540 ribu anak 15. Sampling error-nya kurang lebih 2 hingga 3 skor.
Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara lainnya yakni Malaysia dan Kazakhstan tak memenuhi kualifikasi penelitian). Indonesia masih mengungguli Brazil namun berada di bawah Yordania. Skor rata-rata untuk sains adalah 493, untuk membaca 493 juga, dan untuk matematika 490. Skor Indonesia untuk sains adalah 403, untuk membaca 397, dan untuk matematika 386.
Benarkah Minat Baca Orang Indonesia Serendah Ini?Foto: Grafik performa membaca anak-anak Indonesia (PISA, OECD)
Pada kategori umum 'performa dalam sains, membaca, dan matematika' ini, negara yang menempati ranking 1 adalah Singapura dengan skor sains 556, membaca 535, dan matematika 564. Di bawah Singapura ada Jepang dengan skor sains 538, membaca 516, dan matematika 532. Urutan ke-3 diduduki Estonia dengan skor sains 534, membaca 519, dan matematika 520.
Finlandia yang selama ini dipandang punya pendidikan mumpuni ternyata ada pada urutan ke-5. Yang mengejutkan, Vietnam ada pada urutan ke-8 di bawah Kanada dan di atas Hong Kong. Inggris berada pada urutan ke-15 disusul Jerman. Amerika Serikat ada di urutan ke-25.
Pada kategori yang lebih rinci lagi, yakni hanya dalam hal 'performa membaca' saja, juaranya tetap Singapura (535), disusul Kanada dan Hong Kong dengan skor yang sama (527), dan Finlandia (526) di urutan ke-4. Korea (517) dan Jepang (516) masing-masing di ranking 7 dan 8. Jerman (509) yang dikenal sebagai negara dengan pemikir jempolan pada abad-abad silam, menduduki ranking 10 pada penelitian 2015 ini. Negeri Paman Sam (497) ada di ranking 24 dalam hal performa membaca.
Bagaimana dengan ranking performa membaca orang Indonesia? Negeri ini ada di urutan ke-44 dengan skor 397, kalah satu poin dari Peru (398). Di bawah Indonesia ada Tunisia (361), Republik Dominika (358), FYROM (352), Aljazair (350), Kosovo (347), dan Lebanon (347).
CCSU: Indonesia ranking 60 dari 61 negara
CCSU merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman.
Korea Selatan dapat ranking 22, Jepang ada pada ranking 32, dan Singapura berada di peringkat ke-36. Malaysia ada di barisan ke-53.
Bagaimana bisa Singapura yang dipandang punya pendidikan unggul namun tidak juara di penelitian ini? CCSU menjelaskan, penelitian ini tidak hanya berbasis pendidikan. Bila saja penelitian ini hanya berbasis pendidikan saja, maka Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan China akan berada di peringkat teratas bersama Finlandia. Namun begitu faktor lain seperti ukuran perpustakaan dan kemudahan aksesnya dimasukkan, negara-negara Asia dan tepian Pasifik tersebut langsung melorot peringkatnya. Apapun itu, yang jelas peringkat Indonesia tentang literasi berada di level bawah.
Jangan salahkan anak-anak Indonesia
Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, terang-terangan tak setuju dengan cap bahwa anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang malas membaca buku. Menurutnya, survei PISA dan CCSU menimbulkan kesimpulan yang salah tentang minat baca orang Indonesia.
"Kawan-kawan di Pustaka Bergerak selalu melihat minat baca dari masyarkat itu tinggi sekali. Begitu disodorkan buku-buku yang sesuai, mereka sangat antusias," kata Nirwan saat berbincang dengan detikcom, Jumat (4/1/2019).
Benarkah Minat Baca Orang Indonesia Serendah Ini?Foto: Nirwan Ahmad Arsuka, insisiator Pustaka Bergerak. (Dok Pribadi)
Nirwan dan Pustaka Bergerak adalah sosok penting di balik Kuda Pustaka, Perahu Pustaka, Becak Pustaka, atau aktivis-aktivis di pelosok Indonesia yang membawakan buku untuk anak-anak. Metodenya adalah 'jemput bola' dalam hal menghadirkan perpustakan ke anak-anak, bukan menunggu anak-anak mendatangi perpustakaan.
Anak-anak tidak membaca buku karena pelbagai faktor. Pertama, akses ke buku sulit. Bila mereka disodori buku-buku yang sesuai, maka mereka bakal senang hati membaca. Ini terbukti ketika tahun 2016, aktivis Pustaka Bergerak masih berusaha keras 'berburu' anak-anak untuk mau membaca buku. Namun kini anak-anak pelosok sudah bisa merasakan asyiknya membaca buku, gantian aktivis Pustaka Bergerak yang diuber anak-anak. Tak jarang, anak-anak itu 'membegal' aktivis yang berusaha mengedarkan buku pinjaman ke desa lainnya supaya berhenti dulu di desa yang lebih awal dilalui.
"Relawan kita yang mestinya bergerak ke desa B, di tengah jalan di desa A bisa dibegal oleh anak-anak untuk disuruh berhenti. Anak-anak dulu dikejar-kejar, tapi sekarang mereka yang mengejar-ngejar relawan," kata Nirwan.
Hingga kini, relawan Pustaka Bergerak yang terdaftar berjumlah 15 ribu orang. Jumlah itu dirasa masih kurang untuk ukuran luas wilayah dan jumlah anak-anak Indonesia. Perlu lebih banyak lagi pejuang literasi di pelosok Provinsi Papua dan Papua Barat. Jumlah 15 ribu orang relawan belum mampu memuaskan minat baca bocah-bocah seluruh Indonesia.
"Sangat kewalahan kita. Anak-anak ini kalau sudah menyala rasa ingin tahunya, maka mereka akan kehausan membaca buku," kata Nirwan.
Faktor kedua yang menyebabkan minat baca Indonesia rendah, yakni bukunya jelek-jelek. Jadi bukan salah orang Indonesia-nya yang malas membaca, tapi salahkan bukunya yang kebanyakan tidak menarik.
"Buku-buku terbitan P dan K (Kementerian/ Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) itu materinya tidak menarik, ditulisnya juga tidak menarik, banyak ceramahnya, sehingga malah merusak imajinasi anak," kritik Nirwan terhadap kualitas 'buku proyekan' pemerintah, meski dia mengakui ada pula buku-buku bagus terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Karena buku asli Indonesia kebanyakan tak menarik, maka anak-anak di banyak daerah menjadi gandrung dengan buku-buku terjemahan dari luar negeri yang lebih memikat. Ada bahaya yang membayangi. Anak-anak Indonesia bisa terasing dari lingkungannya sendiri. Nirwan mulai mencermati, banyak anak-anak di daerah yang lebih tahu soal hewan-hewan di belahan bumi lain ketimbang hewan-hewan di lingkungannya. Ini karena mereka kekurangan suplai buku asli Indonesia.
"Anak-anak lebih fasih berbicara tentang beruang kutub ketimbang tentang kuda Sumba. Kalau tentang beruang kutub hingga dinosaurus itu banyak di buku-buku terjemahan, tapi kalau tentang kuda Sumba atau tentang elang Jawa harusnya ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang lebih menarik," kata Nirwan.
Hal ketiga yang dipandangnya berpengaruh terhadap minat baca adalah peran pemerintah. Dia meminta pemerintah menolak anggapan bahwa anak-anak Indonesia itu punya minat baca yang rendah. Dia tak ingin anak-anak Indonesia disalahkan karena minat baca disebut rendah. "Penelitian itu sempat diulang-ulang (OECD dan CCSU) dan bahkan menyalahkan masyarakat, dianggapnya minat baca masyarakat rendah," ujarnya.
Namun Nirwan sangat berterima kasih ke pemerintah yang telah menjalankan program pengiriman buku gratis tiap tanggal 17 melalui Kantor Pos (PT Pos Indonesia). Program itu sempat terancam berhenti karena persoalan biaya namun akhirnya dilanjutkan kembali oleh pemerintah.
Lewat pengiriman tiap bulan tanggal 17 itu, disebutnya sekitar 300 ton buku lalu-lalang dari dan ke seluruh sudut Indonesia, biayanya rata-rata menghabiskan Rp 700 juta sampai Rp 800 juta. Dia berharap program ini terus berlanjut. Soalnya, program saling kirim buku ke taman bacaan pelbagai daerah mampu menumbuhkan nasionalisme. Anak-anak Papua yang mendapat kiriman buk dari Aceh, atau orang Manado yang mendapat kiriman buku dari Malang, bisa mempunyai bayangan kebangsaan karena saling terhubung lewat buku.
"Orang-orang yang tadinya cuma membayangkan daerah-daerah lain hanya samar-samar, sekarang jadi punya bayangan konkret lewat buku. Ini muncul nasionalisme baru, yakni nasionalisme pustaka," tandasnya.
Terakhir, mari kita baca dua artikel fresh from the oven ini, yakni sekitaran 2019
TRIBUNJABAR.ID, PURWAKARTA - Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia, T Syamsul Bahri mengatakan persentase minat baca masyarakat di Indonesia telah mencapai lebih dari 50 persen.
Hal tersebut dikatakan di sela kegiatannya mewakili pihak Perpustakaan Nasional pada peresmian Gedung Perpustakaan Digital Purwakarta, Selasa (12/2/2019).
"Minat baca masyarakat Indonesia di tahun 2018 sudah masuk taraf sedang, sudah di atas 50 persen, itu sudah bagus. Itu di luar dugaan," kata Syamsul Bahri di Perpustakaan Digital Purwakarta, Jalan KK Singawinata, Nagri Tengah, Purwakarta.
Dia menambahkan, Indonesia pernah menjadi negara yang masyarakatnya sangat rendah akan minat baca.
Di tahun 2016, Pustakawan Nasional itu menyebutkan persentase minat baca di Indonesia hanya 26 persen.
Seiring berjalannya waktu, minat baca masyarakat semakin meningkat.
Meski tidak signifikan, tapi pada tahun 2017 persentasenya mencapai 37 persen.
Sedangkan di tahun 2018, kenaikan yang siginifikan terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang terus sadar akan pentingnya membaca.
"Kami pikir masih di ambang batas rendah, tapi ternyata naik lebih jauh, ke taraf sedang. Faktornya itu karena masyarakat semakin membutuhkan informasi yang lebih luas," ujar Syamsul Bahri.
ilustrasi gemar membaca |
Hal yang lebih positf muncul dari artikel Sindo. Dalam artikel itu, Indonesia dikabarkan memiliki minat baca di atas negara-negara maju.
Seperti apa indikator yang dipakai? Berapa range-nya? Negara maju mana yang dimaksud? Inilah artikel tersebut :
JAKARTA - Minat baca masyarakat Indonesia mulai diperhitungkan. Bahkan untuk tahun lalu, minat bacanya mengalahkan sejumlah negara besar.
Hal itu diucapkan Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando seusai penandatangan nota kesepahaman (MoU) antara lembaganya dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Executive Lounge layanan Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis 31 Januari 2019.
"Minggu lalu ada berita menggembirakan, Inggris baru saja merilis 20 negara terbaik dalam tingkat (minat) bacanya tahun ini. Kita masuk ke urutan 15, lebih baik dari Argentina, Jerman, dan Kanada," ungkap Syarif Bando.
Lebih lanjut disebutkan, yang tertinggi minat bacanya adalah India dengan capaian di atas 10 jam. "Sementara Indonesia di atas 6 jam per minggu. Ini langkah awal memulai pengembangan perpustakaan di seluruh Nusantara," katanya.
Dia mengutarakan, berdasarkan amanat UU NO 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, 100% provinsi yang ada sudah membentuk perpustakaan. Sedangkan dari 514 kabupaten/kota, hanya 22 yang belum memiliki perpustakaan dan tahun ini diharapkan selesai pengadaannya.
"Secara fisik (perpustakaan) rata-rata ada, kami inginnya menempatkan aplikasi teknologi di sana, dan mereka bisa akses server di sini melalui iPusnas," ucap Syarif.
Kesimpulan :
Kita butuh sebuah riset yang benar-benar komprehensif untuk melihat sejauh mana minat baca anak-anak Indonesia.
Riset ini penting agar kta bisa memetakan strategi kedepannya.
Tetapi jika melihat beberapa artikel di atas, walau tetap harus prihatin, masih ada harapan untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia.
perlunya kerjasama semua pihak |
Jika di tulisan yang lalu saya sudah bahas perihal pembuatan reading corner, kesempatan lain kita akan bahas khusus mengenai upaya yang bisa dilakukan guru dan sekolah dalam meningkatkan minat baca secara lebih massif. Sedangkan untuk jenis-jenis membaca, bisa Anda baca di situs ini.
Baca juga artikel tentang Protozoa, hewan kecil yang menyebabkan berbagai macam penyakit.
Baca juga artikel tentang Protozoa, hewan kecil yang menyebabkan berbagai macam penyakit.
Demikian bahasan kita kali ini. Saya menyarankan Anda mengunjungi situs pendidikan Esai Edukasi jika memang concern terhadap permasalahan pendidikan.
Silahkan tuliskan pendapat Anda di kolom komentar.
Posting Komentar untuk "Penelitian Tentang Minat Baca Anak Indonesia (2016-2019)"
Komentar Anda akan muncul setelah kami moderasi. Terima kasih sudah berkunjung.