Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berita untuk Anda

MEMIMPIKAN SEBUAH PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN

Sekolah Pembebasan - Ada pepatah bijak mengatakan, pendidikan jauh lebih penting untuk menyelamatkan sebuah negara, dari pada tentara. 

Tentu peribahasa tersebut bukan bermaksud mengkerdilkan peran tentara. Pepatah tersebut lebih menekankan akan peran pendidikan yang begitu vital. Bahkan masa depan dan kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari cerminan pendidikan dan kualitas sumber daya warganya.

Begitu vitalnya pendidikan, maka semua pihak, baik pemerintah dan rakyat, berkewajiban untuk turut serta berkontribusi dalam mengembangkannya. Tanpa sinergi yang padu, maka usaha untuk mengembangkan kualitas pendidikan sama seperti mimpi di siang bolong.

PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN / ADI FUN LEARNING
Merdeka Belajar

Padahal, jika pendidikan tidak berkembang, dijamin tidak akan membuat generasi mudanya tanggap dan sigap menghadapi perubahan zaman. 

Zaman pasti berubah, dan waktu pasti berganti. Karena itulah diperlukan usaha terus menerus untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan.

Tapi pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan bukan berarti harus mengubah kurikulum seenaknya sendiri, seperti yang selalu  dilakukan oleh pemerintah Indonesia. 

Perubahan dan pengembangan kualitas pendidikan justru akan terancam terganggu, bahkan mengalami kemunduran yang progresif jika seluruh energi ‘hanya’ terfokus setiap lima tahun (biasanya setiap lima tahun, negeri ini memiliki Menteri Pendidikan yang baru) untuk beradaptasi dengan kurikulum baru.

Justru perubahan kurikulum yang terlalu cepat (bisa dikatakan gegabah dan sembrono) akan membuat pendidikan menjadi jauh dari sasaran. 

Akibatnya, pengembangan sumber daya manusia Indonesia juga akan terhambat, dan hal ini nantinya akan mempengaruhi daya saing bangsa secara luas dan mendalam.

MELENCENG DARI JALUR

Salah satu hal yang paling mengerikan dalam dunia pendidikan adalah proses belajar mengajar yang diberikan ternyata hanya sebatas formalitas. Kegiatan belajar mengajar yang merupakan instrumen penting hanya terjadi pada tataran seremonial. 

Akibatnya pendidikan hanya mencetak siswa-siswa yang kaku, teoritis, tidak menyadari pentingnya belajar secara mandiri dan mendalam, serta tergagap-gagap ketika lulus dari bangku sekolah.

Sayangnya hal inilah yang tampak pada wajah pendidikan di negeri ini. Buktinya sudah sangat jelas. Mayoritas lulusan sekolah dan kampus hanya berlomba-lomba untuk mendaftar menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sedang sisanya memilih untuk menjadi karyawan dan buruh. 

Selain itu, ketika sudah duduk di posisinya, banyak dari lulusan ini yang hanya bekerja sesuai standar minimal dan alur ‘tradisi’, memiliki loyalitas yang berlebihan terhadap atasan ketimbang profesinya, serta tidak berminat untuk mengembangkan kompetensinya lebih lanjut. Alhasil, budaya lemot, korup, dan berbelit-belit di negeri ini terus langgeng saja.

Hal itu selain disebabkan oleh kuatnya pengaruh tradisi lama (korup, lemot dan berbelit-belit), juga karena kurang suksesnya pendidikan mencetak lulusan yang tangguh, berkarakter kuat, kompeten dan mau mendobrak tatanan lama yang ‘sesat’ itu.

Jelas dalam hal ini, guru tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Pemerintah sebagai eksekutif dan pelaksana amanah rakyat juga pasti memiliki kontribusi yang besar. Salah satu indikatornya adalah seringnya pemerintah menggonta-ganti kurikulum.

Selain itu, masyarakat yang apatis dan acuh terhadap pendidikan juga patut disadarkan. Budaya basa-basi, hipokrit serta gemar mempertunjukkan sikap yang kasar dan menyukai kekerasan pada akhirnya juga turut berperan untuk membentuk mental dan sikap anak-anak.

Sudah saatnya semua pihak, sekolah-pemerintah-masyarakat-pelaku usaha, bercermin dari ini semua. Harus ada sebuah sinergi yang padu untuk lebih menjadikan pendidikan sebagai sarana praksis, bukan hanya pada tataran teori dan seremonial.  

MEMUPUK JIWA MANDIRI DAN PERCAYA DIRI

Salah satu tujuan pendidikan, seperti yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara, adalah mempersiapkan generasi penerus untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat. Mengapa demikian? Anak (ada yang menyebutnya manusia muda) harus diberikan layanan pendidikan agar mampu bertumbuh menjadi manusia seutuhnya untuk kemudian menjadi bagian dari masyarakat, yaitu sekelompok manusia dewasa yang ada di sekitarnya.

Tentu tidak selamanya sekolah mampu memberikan layanan pendidikan bagi para siswa, setidaknya setelah mereka lulus. Tapi bukankah life is a learning process? (hidup adalah sebuah proses belajar?) Dan belajar itu berlangsung seumur hidup?

Untuk itulah pentingnya sekolah menanamkan dua karakter pada siswanya: mandiri dan percaya diri. Tanpa dua karakter ini, para siswa hanya akan menggantungkan proses belajar kepada pihak sekolah. Ini adalah sebuah ancaman yang juga tak kalah berbahaya dari ancaman laten gerakan separatis.

Dengan hanya bergantung pada pihak sekolah, maka mereka terancam berhenti belajar seusai lulus. Lantas bagaimana nasib bangsa ini jika manusia-manusianya hanya menjadi manusia yang tidak suka belajar? Padahal dalam proses belajar di sekolah sekalipun, masih banyak hal yang harus dibenahi.

Untuk itulah sekolah harus mampu secara terus-menerus menanamkan rasa percaya diri pada para siswanya dan membuat mereka mencintai ilmu pengetahuan. Jika itu sudah didapatkan, maka secara otomatis siswa akan terus mengeksplorasi dunia pengetahuan dan tumbuh sebagai manusia yang haus menambah wawasan.


MENGAJARKAN BUDI PEKERTI

Salah satu tujuan pendidikan lainnya adalah menanamkan budi pekerti kepada para siswa. Penanaman budi pekerti ini sangat penting, agar siswa dapat tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Tanpa adanya budi pekerti, siswa bisa saja  tumbuh menjadi manusia cerdas, tapi gemar korupsi, mencintai kekerasan dan tidak taat pada aturan.

Pengajaran budi pekerti ini juga tak semudah yang terlihat. Guru juga harus memberikan contoh secara nyata. Jika guru gemar menghina, melecehkan dan menyakiti perasaan siswa yang paling malas sekalipun, maka dapat dikatakan guru memberikan contoh yang tidak baik juga kepada anak-anak.

Begitu pula jika guru begitu ringan tangan menjewer, menempeleng hingga memukul wajah anak didiknya sendiri, guru tersebut selain sudah dengan jelas melakukan sebuah perbuatan kriminal, juga bisa dikatakan berhasil dalam mempertontonkan tindakan brutal pada anak-anak lainnya.

Sebelum memberikan pelajaran mengenai karakter rajin dan tekun, guru harus berada di kelas tepat waktu. Sebelum berbicara mengenai kejujuran, guru juga harus transparan dalam memberikan nilai, bukan hanya fokus mengenai bagaimana memperbaiki nilai mereka yang buruk tapi berparas menawan atau berdompet tebal. Guru harus bisa mempertanggungjawabkan ucapannya sebelum tampil sebagai seorang pengajar.

Memang jika diperhatikan lagi, hampir mustahil bukan, mengajarkan budi pekerti?  Ya, itu adalah jawaban singkat bagi orang-orang pesimistis dan tidak bertanggung jawab. 

Justru ini adalah saat yang tepat untuk mengubah pandangan bahwa guru adalah dewa. Guru adalah manusia biasa, yang butuh sepeda motor, bermimpi punya  rumah baru, iri jika tetangganya membeli kulkas, tidak terima jika ditegur karena merokok di sekolah atau diam-diam kagum terhadap beberapa wali murid.

Tapi semua itu bukanlah alasan untuk menyangsikan wewenang guru di kelas. Jika sawah adalah medan bapak ibu tani, dan laut adalah area nelayan, maka kelas adalah tanggung jawab guru. Masyarakat seharusnya membantu guru, baik dengan cara mengingatkan ataupun meningkatkan kesejahteraannya. 

Jika hanya mengandalkan pemerintah, sampai kiamat pun, jargon pahlawan tanpa tanda jasa masih akan kekal. Walau di kota-kota besar, banyak guru yang lebih tampak seperti motivator partikelir daripada pencetak generasi pemimpin masa depan.

MELESTARIKAN INGATAN

Pendidikan juga harus menjadi sarana untuk melestarikan ingatan, baik tentang kebesaran maupun tentang keburukan di masa lalu. 

Dengan terus mengingat serta mempelajari bahasa dan aksara Jawa, peserta didik dilatih untuk sadar, betapa besar bangsa ini. 

Bayangkan, orang Amerika dan Australia saja tidak memiliki aksaranya sendiri. Begitu pula jika murid dilatih menari Jaipong, menulis aksara Bali, membuat puisi dan sajak Melayu ataupun memahat ala orang Asmat. Semua itu tidak boleh hilang!

Jika pendidikan melulu hanya menjejali otak generasi muda dengan indahnya Amerika, majunya Jerman dan perkasanya Perancis, lalu berbondong-bondong rakyat kita pindah ke sana, dan belajar hanya untuk bisa menjadi buruh dan kuli bagi perusahaan asing, maka pendidikan kita sudah pasti gagal total alias kiamat.

Pendidikan harus mampu membuat rakyat bangga pada negaranya. Mengingat keperkasaan Gajah Mada dan Hayam Wuruk memporak-porandakan Asia Tenggara, kehebatan Pattimura sebelum ditipu oleh bangsa kolonialis Belanda, dan menggelegarnya pidato Bung Karno dalam membuka kebobrokan kapitalisme Inggris dan Amerika yang menjerat negara-negara miskin dalam utang berkepanjangan. 

Bukannya terus dijejali mitos seseorang yang dipuja sebagai pemimpin besar tapi nyatanya adalah seorang koruptor kelas kakap.

Atau dongeng tentang pembunuhan warga dan anak bangsa yang dicap komunis oleh para tentara dengan alasan menyelamatkan Pancasila.

Pendidikan harus jujur, memberikan fakta, biarpun itu menyakitkan. Berbanggalah pada Jerman, yang dengan terang-terangan mengajarkan kekejaman fasis Hitler pada era 1940an. 

Atau Amerika yang juga mulai mengakui bahwa nenek moyang kulit putih mereka membantai penduduk kulit merah Indian seperti serigala membantai kelinci. Lantas apakah pendidikan kita sudah seperti itu. 

Mengakui bahwa Bung Karno mati secara menyedihkan karena dikenai tahanan rumah oleh Soeharto dan pemerintah orde barunya. Atau bagaimana tentara membunuhi penduduk Papua karena mereka menolak tanahnya diperkosa oleh perusahaan tambang emas bernama Freeport di masa lalu?

Kejujuran adalah awal dari kemerdekaan. Jika terus berbohong dan hidup dalam pembualan, maka hanya rasa takut yang ada. 

Begitu pula pendidikan. Harus mampu secara jujur mengakui bahwa tempe adalah produk asli nenek moyang Indonesia yang kemungkinan dari etnis Cina-Tionghoa. 

Bahwa wayang adalah warisan leluhur bangsa, yang mayoritas ceritanya berasal dari budaya India. Lalu melestarikan itu semua, sebelum bangsa lain, yang sebenarnya juga harus dikagumi karena turut melestarikan sebelum punah, mengklaim itu semua.

MEMBERIKAN KECAKAPAN HIDUP

Memberikan kecakapan hidup bukan hanya dalam tataran teori. Memberikan kecakapan hidup harus dalam tataran praktis. 

Jika hanya dijejali teori-teori yang mereka sendiri tidak paham, maka manusia-manusia Indonesia akan menjelma menjadi manusia teoritis yang ditertawakan warga dunia.

Mempelajari berbagai cairan kimia tanpa pernah melihat bentuk dan warnanya. Mempelajari teori pendidikan tapi tidak pernah turun langsung mengajar sekolah yang mayoritas anaknya berasal dari kalangan miskin. 

Getol mempelajari hukum tapi hanya menjadi tukang cuci mobil ketika praktik kerja lapangan di sebuah biro pengacara besar. Sungguh teoritik.

Memberikan kecakapan hidup harus dimulai dari sekolah dasar. Pendidikan harus mampu menanamkan semangat mencintai kerja di kalangan anak-anak. Jika anak-anak hanya dimanjakan oleh pembantu dan mesin cuci, ketika (semoga saja tidak) terjadi krisis ekonomi, perang meletus, kelaparan tiba-tiba muncul, atau orang tuanya ditangkap KPK, maka si anak akan berubah menjadi sosok yang gagap pada kehidupan dan memilih mati karena tak tahu bagaimana cara mencuci kaos kaki yang kotor.

Kehidupan yang hedonis harus diimbangi dengan pendidikan yang praksis. Tan Malaka, sosok aktivis dan pegiat pendidikan yang namanya sudah membahana seantero Asia bahkan Eropa, melarang sekolah yang ia dirikan memiliki tukang kebun. Bagi pejuang kemerdekaan asal Sumatera ini, menyapu, membersihkan halaman, membetulkan pintu yang rusak atau menambal tembok kayu adalah kesempatan bagi anak untuk berkembang.

Lebih jauh lagi, Tengku Syafeii, pendiri INS Kayu Tanam, memperkenalkan formula cerdas yang tak kalah hebat dari konsep pendidikan asal Belanda, Jerman, ataupun Inggris. 

Lelaki yang muak kepada sistem pendidikan Belanda itu menggaungkan konsep hati, otak dan tangan. Cerdas secara akademik, terampil secara teknis dan peduli pada masyarakat sekitar. Terlepas dari sekolah beliau yang makin mengalami kemunduran, INS Kayu Tanam adalah contoh nyata bagaimana ternyata sekolah juga harus mengajarkan keterampilan yang praksis.

PENDIDIKAN KRITIS-LOGIS, APA PULA ITU?

Pendidikan juga harus membuat siswa menjadi cerdas sekaligus kritis. Harus berani mempertanyakan hal yang selama ini dianggap absurd sekalipun. Sebagai latihannya, sekolah dapat mengambil banyak bahan yang bertebaran di sekitarnya. Polisi yang hobi menilang pengendara motor, kerusuhan etnis 1998, penggunaan bensin untuk pembangkit listrik sampai pada abang becak dan kuli bangunan yang sudah rajin dan hemat tetapi tidak kaya-kaya juga.

Pendidikan harus mampu membuat anak menjadi ketagihan menggunakan otaknya. Dari sana akan muncul berbagai pertanyaan jitu yang siapa tahu akan mengubah dunia. Jika manusia bernama Copernicus tidak mempertanyakan teori geosentris, sampai kapanpun juga kita akan percaya bahwa matahari dan bulanlah yang mengelilingi bumi. 

Akibatnya kita tidak bisa menerbangkan satelit dan manusia akan terus hidup dalam kebodohan dan pembodohan berkedok agama.

Pendidikan kritis-logis di sini adalah sebuah konsep pendidikan di mana anak harus diajak untuk membuka mata hatinya dan peka pada masalah-masalah sosial yang ada, merumuskan inti permasalahan, mencoba mencari gagasan solusi dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka (menjadi pelopor). 

Konsep pendidikan kritis-logis harus berlandaskan pada sebuah pemahaman bahwa dunia ini adalah sebuah alam nyata dan hukum sebab akibat adalah mutlak terjadi. Dalam bahasa paling sederhana, pendidikan kritis-logis bersumber pada keyakinan bahwa mitos, legenda dan takhayul tidak layak dipercaya dan tempat yang paling tepat bagi itu semua adalah kuburan atau museum.

Tanpa berfikir logis, anak-anak akan terkungkung pada budaya mantuk-mantuk, yakni budaya untuk patuh tanpa syarat pada orang yang lebih senior ketimbang patuh pada nalar sehat. Anak juga harus disadarkan bahwa orang tua dan guru itu bukan dewa, sehingga jangan mau seenaknya saja digerayangi, dibentak-bentak dengan kata-kata yang tidak pantas atau disuruh melakuksn push-up seribu kali.

Akhirnya, sebuah masyarakat yang egaliter dan adil-makmur

Inti dari seluruh tulisan pada UUD 1945 adalah bagaimana masyarakat Indonesia mencapai tujuan utamanya, menjelma menjadi masyarakat adil dan makmur. Ini hanya bisa dicapai jika pengetahuan dan kepedulian berjalan beriringan. 

Pendidikan kritis-logis menawarkan sebuah solusi alternatif untuk mengajarkan siswa (bahkan rakyat Indonesia) menjadi manusia-manusia yang bermoral, mencintai pengetahuan, terampil dan bebas dari segala tahayul dan tradisi yang hanya membuat negeri ini bagai katak dalam tempurung. (Adi Fun Learning)

Posting Komentar untuk "MEMIMPIKAN SEBUAH PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN "